Saturday, July 18, 2009

Laskar Pengeluh

Coba perhatikan di sekitar Anda, adakah orang yang gemar mengeluh? Keluhannya bervariasi, mulai dari mengeluh tentang kinerja pemerintahan yang dianggapnya tidak memihak rakyat kecil, hingga tentang fasilitas kantor yang dirasa minim. Dia merasa tidak ada satu pun orang atau situasi yang mampu memuaskannya. Hati dan pikirannya seakan-akan tengah menjalankan misi untuk mengkritisi atau bahkan memperbaiki kekacauan yang tengah terjadi di muka bumi ini.

Kalau diperhatikan lagi dengan lebih seksama, jenis orang seperti ini umumnya memiliki sikap pemurung dan pesimistis. Mereka mudah dikenali, tidak hanya dari kata-katanya yang dipilih saat berbicara (negatif), tetapi juga dari mimik mukanya yang redup. Satu hal lagi, dia akan nyaman berkumpul dengan orang-orang yang punya sikap dan kebiasaan yang sama. Seperti kata pepatah – yang juga sejalan dengan hukum psikologi – bahwa "kambing akan berkumpul dengan kambing lagi". Mereka biasanya berkerumun di lorong kantor, di kantin, di dapur dan di tempat-tempat tersembunyi lainnya.



Tak seorang pun yang ingin berdekatan dengan orang yang pemurung dan pesimistis. Kita semua mencari, menyukai, dan mengagumi orang-orang yang memiliki pandangan dan wawasan yang positif dan optimistis terhadap kehidupan. Mengapa? Karena itulah yang sesungguhnya kita butuhkan. Melihat semangat yang positif seperti ini pada diri orang lain menyebabkan kita semakin menyukai mereka.

Cobalah ingat tentang seseorang dalam hidup Anda yang Anda tidak dapat berdekatan dengannya. Dalam berbagai kesempatan ia selalu mengelauh tentang sesuatu, selalu jengkel dengan seseorang, selalu menyalahkan segala sesuatu, termasuk mengeluhkan karirnya yang tidak pernah beranjak. Dia tidak menyadari kalau kebiasaannya mengeluh adalah penyebabnya.
Anda mungkin juga pernah mendengar sebuah cerita inspirasi yang menggambarkan seorang sosok yang positif dan selalu bersikap optimis.

Ceritanya seperti ini:
Seorang Ibu terapung-apung di tengah lautan karena kapal yang ditumpanginya tenggelam. Tidak seperti yang lainnya, Ibu ini selalu tersenyum dengan ekspresi muka yang gembira. Orang disampingnya yang bergelayut di sebatang kayu yang sama, dengan heran bertanya; "Bu, kok kelihatannya senang, bukankah saat ini kita tengah mempertaruhkan nyawa kita ?"

Dengan santai Ibu itu menjawab; "Bagaimana tidak senang, saat ini aku dihadapkan pada dua kemungkinan. Kedua kemungkinan itu sama-sama menguntungkan buatku."

Merasa jawaban Ibu itu tidak memuaskan, orang yang disampingnya terus mendesak; "Maksud Ibu apa ya ?"
"Begini, kalau aku selamat itu artinya aku akan berjumpa dengan anak-anakku di daratan sana. Kalau aku tenggelam dan meninggal, berarti aku akan berjumpa dengan suamiku yang sudah menanti di surga. Bukankah keduanya sama-sama menguntungkan ?"

Saya yakin hingga saat ini Anda tidak pernah bergabung dengan Laskar Pengeluh, karena Anda tahu bahwa saat kita mengeluh, saat itu pula kita sedang memperlihatkan kualitas rendah diri kita. Kecuali dia anak pemilik perusahaan, dengan sikap seperti itu yang bersangkutan tidak akan lolos dalam interview pekerjaan. Kalau pun lolos perlu waktu lama untuk bisa naik jabatan. Dan jika naik jabatan, jangan-jangan itu hanya karena belas kasihan saja.

With Love & Respect
Sigit Risat, Inspirator Hubungan Harmonis
Read More..

Dermawan Rahasia

oleh: Woody McKay Jr,

Sebagai seorang supir selama beberapa tahun di sekitar awal tahun 1910-an, ayahku menyaksikan majikannya yang kaya raya secara diam-diam memberikan uang kepada banyak orang, dan sadar bahwa mereka tidak akan pernah mampu mengembalikan uang itu.

Ada satu cerita yang menonjol dalam kenanganku di antara banyak cerita yang disampaikan ayahku kepadaku. Pada suatu hari, ayahku mengantar majikannya ke sebuah kota lain untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis. Sebelum masuk ke kota itu, mereka berhenti untuk makan sandwich sebagai ganti santap siang.



Ketika mereka sedang makan, beberapa orang anak lewat, masing-masing menggelindingkan sebuah roda yang terbuat dari kaleng. Salah seorang di antara anak-anak itu pincang. Setelah memperhatikan lebih dekat, majikan ayahku tahu bahwa anak itu menderita club foot. Ia keluar dari mobil dan menghentikan anak itu.

"Apakah kakimu membuatmu susah?" tanya orang itu kepada si anak.

"Ya, lariku memang terhambat karenanya," sahut anak itu.

"Dan aku harus memotong sepatuku supaya agak enak dipakai. Tapi aku sudah ketinggalan. Buat apa tanya-tanya? "

"Mm, aku mungkin ingin membantu membetulkan kakimu. Apakah kamu mau?"

"Tentu saja," jawab anak itu. Anak itu senang tetapi agak bingung menjawab pertanyaan itu.

Pengusaha sukses itu mencatat nama si anak lalu kembali ke mobil. Sementara itu, anak itu kembali menggelindingkan rodanya menyusul teman-temannya.

Setelah majikan ayahku kembali ke mobil, ia berkata, "Woody, anak yang pincang itu... namanya Jimmy. Umurnya delapan tahun. Cari tahu di mana ia tinggal lalu catat nama dan alamat orang tuanya. " Ia menyerahkan kepada ayahku secarik kertas bertuliskan nama anak tadi.

"Datangi orang tua anak itu siang ini juga dan lakukan yang terbaik untuk mendapatkan izin dari orang tuanya agar aku dapat mengusahakan operasinya. Urusan administrasinya biar besok saja. Katakan, aku yang menanggung seluruh biayanya."

Mereka meneruskan makan sandwich, kemudian ayahku mengantar majikannya ke pertemuan bisnis.

Tidak sulit menemukan alamat rumah Jimmy dari sebuah toko obat di dekat situ. Kebanyakan orang kenal dengan anak pincang itu.

Rumah kecil tempat Jimmy dan keluarganya tinggal sudah harus di cat ulang dan diperbaiki di sana sini. Ketika memandang ke sekeliling, ayahku melihat baju compang-camping dan bertambal-tambal dijemur di seutas tali di samping rumah. Sebuah ban bekas digantungkan pada seutas tambang pula pada sebuah pohon oak, tampaknya untuk ayunan.

Seorang wanita usia tiga puluh limaan menjawab ketukan pintu dan membuka pintu yang engselnya sudah berkarat. Ia tampak kelelahan, dan tampangnya menunjukkan bahwa hidupnya terlalu keras.

"Selamat siang," ucap ayahku memberi salam. "Apakah Anda ibu Jimmy?"

Wanita itu agak mengerutkan dahinya sebelum menyahut.

"Ya. Apakah ia bermasalah?" Matanya menyapu ke arah seragam ayahku yang bagus dan disetrika rapi.

"Tidak, Bu. Saya mewakili seorang yang sangat kaya raya yang ingin mengusahakan kaki anak Anda dioperasi agar dapat bermain seperti teman-temannya. "
"Apa-apaan ini, Bung? Tak ada yang gratis dalam hidup ini."

"Ini bukan main-main. Apabila saya diperbolehkan menerangkannya kepada Anda dan suami Anda, jika ia ada saya kira semuanya akan jelas. Saya tahu ini mengejutkan. Saya tidak menyalahkan bila Anda merasa curiga."

Ia menatap ayahku sekali lagi, dan masih dengan ragu-ragu, ia mempersilahkannya masuk. "Henry," serunya ke arah dapur, "Ke mari dan bicaralah dengan orang ini. Katanya ia ingin menolong membetulkan kaki Jimmy."

Selama hampir satu jam, ayahku menguraikan rencananya dan menjawab pertanyaan-pertanya an mereka. "Apabila Anda mengizinkan Jimmy menjalani operasi," katanya, "Saya akan mengirimkan surat-suratnya untuk Anda tandatangani. Sekali lagi, kami yang akan menanggung seluruh biayanya."

Masih belum bebas dari rasa terkejut, orang tua Jimmy saling memandang di antara mereka. Tampaknya mereka masih belum yakin.

"Ini kartu nama saya. Saya akan menyertakan sebuah surat kalau nanti saya mengirimkan dokumen-dokumen perizinan. Semua yang telah kita bicarakan akan saya tuliskan dalam surat itu. Andai kata masih ada pertanyaan, telepon atau tulis surat ke alamat ini." Tampaknya sedikit banyak ini memberi mereka kepastian. Ayahku pergi. Tugasnya telah ia laksanakan.

Belakangan, majikan ayahku menghubungi walikota, meminta agar seseorang dikirim ke rumah Jimmy untuk meyakinkan keluarga itu bahwa tawaran tersebut tidak melanggar hukum. Tentu saja, nama sang dermawan tidak disebutkan.

Tidak lama kemudian, dengan surat-surat perizinan yang telah ditandatangani, ayahku membawa Jimmy ke sebuah rumah sakit mewah di negara bagian lain untuk yang pertama dari lima operasi pada kakinya.

Operasi-operasi itu sukses. Jimmy menjadi anak paling disukai oleh para perawat di bangsal ortopedi rumah sakit itu. Air mata dan peluk cium seperti tak ada habisnya ketika ia akhirnya harus meninggalkan rumah sakit itu. Mereka memberikannya sebuah kenang-kenangan, sebagai tanda syukur dan peduli mereka... sepasang sepatu baru, yang dibuat khusus untuk kaki "baru"nya.

Jimmy dan ayahku menjadi sangat akrab karena sekian kali mengantarnya pulang dan pergi ke rumah sakit. Pada kebersamaan mereka yang terakhir, mereka bernyanyi-nyanyi, dan berbincang tentang apa yang akan diperbuat oleh Jimmy dengan kaki yang sudah normal dan sama-sama terdiam ketika mereka sudah sampai ke rumah Jimmy.

Sebuah senyum membanjiri wajah Jimmy ketika mereka tiba di rumah dan ia melangkah turun dari mobil. Orangtua dan dua saudara laki-lakinya berdiri berjajar di beranda rumah yang sudah tua itu.
"Diam di sana, " seru Jimmy kepada mereka. Mereka memandang dengan takjub ketika Jimmy berjalan ke arah mereka. Kakinya sudah tidak pincang lagi.

Peluk, cium dan senyum seakan tak ada habisnya untuk menyambut anak yang kakinya telah "dibetulkan" itu. Orang tuanya menggeleng-gelengka n kepalanya sambil tersenyum ketika memandangnya. Mereka masih tidak bisa percaya ada orang yang belum pernah mereka kenal mengeluarkan uang begitu banyak untuk membetulkan kaki seorang anak laki-laki yang juga tidak dikenalnya.

Dermawan yang kaya raya itu melepas kacamata dan mengusap air matanya ketika ia mendengar cerita tentang anak yang pulang ke rumah itu.
"Kerjakan satu hal lagi, " katanya, "Menjelang Natal, hubungi sebuah toko sepatu yang baik. Buat mereka mengirimkan undangan kepada setiap anggota keluarga Jimmy untuk datang ke toko mereka dan memilih sepatu yang mereka inginkan. Aku akan membayar semuanya. Dan beritahu mereka bahwa aku melakukan ini hanya sekali. Aku tidak ingin mereka menjadi tergantung kepadaku."

Jimmy menjadi seorang pengusaha sukses sampai ia meninggal beberapa tahun yang lalu.

Sepengetahuanku, Jimmy tidak pernah tahu siapa yang membiayai operasi kakinya.

Dermawannya, Mr, HENRY FORD, selalu mengatakan lebih menyenangkan berbuat sesuatu untuk orang yang tidak tahu siapa yang telah melakukannya.

"Ada kebahagiaan yang kita rasakan dari menolong orang lain"

(Paul Newman)
Read More..